
Hari Raya Idul Fitri untuk kesekian kalinya menghampiri kita.
Baginda Kanjeng Nabi Muhammad matanya basah dan menangis tersedu-sedu saat harus melepas Ramadhan. Beliau sadar bahwa tidak ada jaminan tahun depan Tuhan mengijinkan kembali bertemu dengannya.
Tahun dan Tuhan selalu tidak pernah beriringan mengabarkan tentang kepastian usia yang kita jalani. Waktu menjadi sama misteriusnya dengan sang pemiliknya.
Malam ketika takbir dikumandangkan, waktupun semakin melaju bersiap menjemput datangnya satu syawal, waktu itu menjadi waktu saat-saat mengetarkan tentang perpisahan dengan banyak hal yang membuat bulu kuduk kita merinding.
Perut yang setia menahan lapar seharian, malam yang dihidupkan untuk tarawih, kitab suci yang yang mendadak akrab dan dan bicara secara tadarus. Iktikaf di penghujung ramadhan dan zakat yang melambangkan empatik dan kohesivitas sosial.
Terasa sangat merinding, karena semuanya tak berubah menjadi makna ramadhan itu sendiri.
Pada malam takbir, terutama di perkampungan yang setia merawat tradisi, biasanya bedug tak henti ditabuh berlalu-lalu, saling bersahutan bersama kentungan yang mengisyaratkan bahwa Agama bisa diseragamkan dengan nafas tradisi di Nusantara ini.
Gabungan suara bedug dan Takbir menjadi sebuah perwujudan tarekat dan adat yang bersertikat dengan sebuah agama, ia semacam wahyu kudus yang meneguhkan rasa daif manusia di hadapan Yang Maha Kuasa.
Tuhan tak terhingga dan manusia yang banyak alpa, Tuhan yang Maha Welas kasih, tapi justru manusia seringkali menerapkan kekerasan atas nama Tuhannya.
Tuhan yang Maha Dekat dan makhluk-Nya yang sering menjauh dari-Nya.
Ramadhan yang memiliki arti membakar bukan diartikan musim panasnya si kawasan dunia Arab. Namun, Ramadhan sebagai sikap metafora dari sebuah proses pembakaran sikap tinggi hati, tidak peduli, jumawa dan watak-watak primitive satwa lainnya.
Pembakaran ini di tarik oleh Kenjeng Nabi Muhammad dalam makna membakar dosa-dosa kita atau menjadi ladang pahala untuk kita untuk memasuki satu Syawal bersama sukma yang bersih dan jiwa yang hening.
Ya itulah Lebaran
Pagi pada satu Syawal, kita melangkahkan kaki ke masjid atau ke lapangan sambil mengumandangkan kebesaran Tuhan dan memuja ke Agungan-nya. Allahu Akbar wa Lillahil-Hamd. Kita tunaikan dua Rokaat di hari kemenangan lalu menyimak sang khatib memberi wasiat.
Idul Fitri tidak memiliki hubungan dengan pakaian yang baru. Secara subtansial Idul Fitri berhubugan dengan ruhaniah, kembali kepada kesucian, dirayakan untuk memutuskan semua tendesi yang serba menuhankan benda dan objek yang lainnya.
Sholat di masjid atau di lapangan mempunyai makna simbolik sebagai sikap lapang dalam merakit hubungan kemanusiaan, sikap lapang ini akan menjadi modal spiritual dalam membangun solidaritas yang terbuka, mampu masuk dalam pengalaman yang majemuk.
Memaafkan bukan hanya secara personal. Namun juga untuk semua orang baik yang satu agama maupun yang tidak. Merawat kebencian secara terus-menerus yang membicangkan tentang lika-liku lama dari beberapa peristiwa menjadi tidak produktif untuk berkehidupan, bahkan ketika merawat kebencian tersebut akan berdampak tidak akan menemukan kedewasaan setiap pribadi manusia.
Makna lain dari Idul Fitri bukan hanya kita bersilaturahmi dan saling meminta maaf kepada manusia yang hidup. Bahkan dalam tradisi kita dibiasakan untuk bersilaturahmi kepada manusia yang sudah meninggal secara jasad, lebaran menjadi sebuah moment pertemuan antara kehidupan dan kematian yang nantinya menjadi sebuah capaian terakhir setiap manusia.
Kematian menjadi tujuan hidup yang paling akhir, kematian yang nantinya diperbincangkan secara benar dan membuahkan kebijaksanaan, jika kehidupannya benar maka dikemudian hari akan mendapatkan kebenaran pula dan sebaliknya jika semasa hidupnya melakukan perlakuan yang tidak benar maka akan mendapatkan cerita bahkan mendapakan balasan yang menjadi cerminan semasa hidupnya.
Jatnika alam sampurna, rumasana nganci di inna lillahi. Ngaku lepat laku papat.
Selamat Hari Raya Idul Fitri 1 Syawal 1444, Mohon maaf Lahir Batin.
Editor : Anuro

