“Hata, maka pada sekali peristiwa, yaitu kemudian dari pada segala perkara yang tersebut itu, maka dicobai Allah akan Ibrahim, firman-Nya kepadanya: Hai Ibrahim! Maka sembahnya: Sahaya, Tuhan!.
Lalu firman Tuhan: Ambillah olehmu akan anakmu yang tunggal itu, yaitu Ishak, yang kaukasihi, bawalah akan dia ke tanah Moria dan persembahkanlah dia di sana akan korban bakaran di atas sebuah bukit, yang akan kutunjuk kepadamu kelak” (KITAB KEJADIAN 22:1-2)

Berdasarkan kedua ayat ini kaum Yahudi dan Nasrani berkeyakinan bahwa anak Nabi Ibrahim yang dikorbankan adalah Ishak. Oleh karena itu ketika Nabi Muhammad SAW diutus dan mengatakan bahwa yang disembelih itu adalah Isma’il, orang orang Yahudi dan Nasrani marah serta menuduh Nabi Muhammad SAW telah menciptakan kegaduhan di tengah kehidupan.  Tuduhan tersebut terbantahkan oleh Kitab Suci mereka sendiri. Sebabnya tidak lain karena — sebagaimana pada ayat di atas –dikatakan bahwa anak yang dikorbankan adalah “anakmu yang tunggal”. Itu berarti yg dikorbankan adalah anak pertama. Padahal telah diketahui bahwa anak pertama Ibrahim adalah “ISMA’IL” bukan Ishak. Kitab Kejadian pasal 16:15-16:

“Lalu Hagar melahirkan seorang anak laki-laki   bagi Abram dan Abram menamai anak yang dilahirkan Hagar itu Ismael. Abram berumur delapan puluh enam tahun, ketika Hagar melahirkan Ismael baginya”

Sedangkan saat Ishak lahir, usia Ibrahim sudah mencapai 100 tahun, sebagaimana ayat:

“Adapun Abraham berumur seratus tahun, ketika Ishak, anaknya, lahir  baginya”  (Kejadian 21:5)

Jika anak pertama itu Isma’il dan anak kedua Ishak,  lalu Allah menyuruh Ibrahim untuk mengorbankan anak tunggal, maka tentu yg dikorbankan adalah Isma’il karena saat itu Ishak sebagai anak kedua belum ada. Dan dari sini diketahui bahwa kata “Yaitu Ishak” adalah sisipan yang dicangkokkan. Lantas apa gerangan yang mendorong mereka mencantolkan nama Ishak ke dalam kitab Suci mereka? Tak lain karena mereka ingin disebut sebagai ‘Keturunan Orang Mulia’.

Bukti dan argumen ini tidak serta merta membuat orang Yahudi dan Nasrani merubah pendiriannya. Sebabnya antara lain karena cerita tersebut telah sampai pada tingkatan “Syuhrah Wal Istifadhah” dan diterima secara turun temurun di tengah masyarakat tanpa ada yang mengingkari sejak ribuan tahun lamanya.

Adalah menarik bahwa mayoritas Ulama dari kalangan Sahabat Nabi SAW pun berpendapat demikian. Bisa jadi mereka percaya dengan cerita dari kalangan Ahlul Kitab yang sudah Syuhrah Wal Istifadhah tersebut dan tidak ada cerita berbeda yg menjadi pembandingnya. Nah, ketika (lebih dari enam abad setelah wafatnya Rasulullah SAW) Al Imam Ibnu Katsir dengan tegas menyatakan bahwa putera Ibrahim yang dikorbankan adalah Isma’il. Dalam Tafsirnya Ibnu Katsir mengemukakan beberapa argumen antara lain adanya sabda Rasulullah SAW yang menyebutkan bahwa beliau adalah “ابن الذبيحتين” (Anak dari dua orang yang disembelih), yang tak lain adalah Abdullah, kakek beliau dan Isma’il leluhurnya. Dengan sikap tegasnya, apakah akan kita katakan bahwa Ibnu Katsir telah menyimpang dari kebenaran karena berbeda dari mayoritas Ulama?. Nyatanya justru kini, hampir seluruh Ummat Islam meyakini bahwa putera Ibrahim yang dikorbankan adalah Isma’il, bukan Ishak.


(II)


Ratusan tahun lamanya Sulaiman AS dinyatakan sebagai tukang sihir. Ketika Nabi Muhammad SAW menyebutkan Sulaiman AS dalam deretan Nabi Nabi, kaum Yahudi pun marah marah. Nabi Muhammad SAW dibully dan dituduh sebagai penyebar fitnah dan pemecah belah ummat. Untuk menjawab tuduhan itu, Allah SWT menurunkan firman-Nya:

وَاتَّبَعُوا مَا تَتْلُو الشَّيَاطِينُ عَلَىٰ مُلْكِ سُلَيْمَانَ ۖ وَمَا كَفَرَ سُلَيْمَانُ وَلَٰكِنَّ الشَّيَاطِينَ كَفَرُوا يُعَلِّمُونَ النَّاسَ السِّحْرَ وَمَا أُنْزِلَ عَلَى الْمَلَكَيْنِ بِبَابِلَ هَارُوتَ وَمَارُوتَ ۚ وَمَا يُعَلِّمَانِ مِنْ أَحَدٍ حَتَّىٰ يَقُولَا إِنَّمَا نَحْنُ فِتْنَةٌ فَلَا تَكْفُرْ ۖ فَيَتَعَلَّمُونَ مِنْهُمَا مَا يُفَرِّقُونَ بِهِ بَيْنَ الْمَرْءِ وَزَوْجِهِ ۚ وَمَا هُمْ بِضَارِّينَ بِهِ مِنْ أَحَدٍ إِلَّا بِإِذْنِ اللَّهِ ۚ وَيَتَعَلَّمُونَ مَا يَضُرُّهُمْ وَلَا يَنْفَعُهُمْ ۚ وَلَقَدْ عَلِمُوا لَمَنِ اشْتَرَاهُ مَا لَهُ فِي الْآخِرَةِ مِنْ خَلَاقٍ ۚ وَلَبِئْسَ مَا شَرَوْا بِهِ أَنْفُسَهُمْ ۚ لَوْ كَانُوا يَعْلَمُونَ

Artinya: “Dan mereka mengikuti apa yang dibaca oleh syaitan-syaitan pada masa kerajaan Sulaiman (dan mereka mengatakan bahwa Sulaiman itu mengerjakan sihir), padahal Sulaiman tidak kafir (tidak mengerjakan sihir), hanya syaitan-syaitan lah yang kafir (mengerjakan sihir). Mereka mengajarkan sihir kepada manusia dan apa yang diturunkan kepada dua orang malaikat di negeri Babil yaitu Harut dan Marut, sedang keduanya tidak mengajarkan (sesuatu) kepada seorangpun sebelum mengatakan: “Sesungguhnya kami hanya cobaan (bagimu), sebab itu janganlah kamu kafir”. Maka mereka mempelajari dari kedua malaikat itu apa yang dengan sihir itu, mereka dapat menceraikan antara seorang (suami) dengan isterinya. Dan mereka itu (ahli sihir) tidak memberi mudharat dengan sihirnya kepada seorangpun, kecuali dengan izin Allah. Dan mereka mempelajari sesuatu yang tidak memberi mudharat kepadanya dan tidak memberi manfaat. Demi, sesungguhnya mereka telah meyakini bahwa barangsiapa yang menukarnya (kitab Allah) dengan sihir itu, tiadalah baginya keuntungan di akhirat, dan amat jahatlah perbuatan mereka menjual dirinya dengan sihir, kalau mereka mengetahui” (Al Baqarah:202)

Bagaimana cerita sebenarnya? Ketahuilah bahwa selama Sulaiman berkuasa, para tukang sihir kehilangan pasaran karena Jin sebagai ‘rekanan’ mereka tak berdaya berhadapan dengan kesaktiannya. Mereka lalu mengadakan ‘Musyawarah Nasional’  mencari jalan keluarnya. Hasil pembicaraan menetapkan agar dikirim seorang kader yg dapat dipercaya untuk menjadi pegawai di istana Sulaiman. Tugasnya adalah mengubur alat alat sihir di bawah Kursi Singgasana Sulaiman AS. Ketika Sulaiman Wafat, mereka membongkar apa yang mereka kubur sebelumnya. Setelah semua alat alat sihir mereka angkat, para tukang sihir pun mengadakan komperensi pers. Di hadapan orang banyak mereka mengumumkan bahwa kebesaran Kekuasaan Sulaiman selama ini karena Sang Raja itu menggunakan ilmu Sihir yg dikubur di bawah Kursi Singgasananya. Sejak saat itulah tercipta Syuhrah dan Istifadhah di seluruh negeri bahwa Sulaiman AS adalah tukang sihir. Nah, dengan ayat ini Allah menyangkal tuduhan mereka dan menjelaskan yang terjadi sebenarnya. Lalu, apakah setelah penjelasan Rasulullah SAW ini apakah mereka mengubah kitab Catatan yang telah dijadikan rujukan sebelumnya? Ternyata tidak. Bahkan catatan dusta itu masih tetap mereka yakini. Hasbunallah

(III)


Lebih dari 500 tahun Kaum Nasrani memalsukan Nasab. Isa anak Maryam ‘diitsbat’ sebagai anak Allah. Keyakinan ini dapat dikatakan telah mencapai “Syuhrah Wal Istifadhah” terlebih setelah diselenggarakan Konsili di Nicea tahun 325 dan Konstantinopel tahun 381, ‘Nasab’ anak Maryam itu dinyatakan ‘Tsabit Bil Ijma’ (sah menurut kesepakatan para Ulama Nasrani). Ketika seorang ‘pembaharu’ bernama Muhammad SAW tampil membongkar ‘Nasab Palsu’  ini, Ummat terpecah menjadi dua; sebagian percaya namun sebagian besar terutama para pembesar mengingkarinya. Mereka yang menerima berpegang pada teks Kitab Suci yang dipahami secara benar dan mengikuti ajaran Isa AS yg sebenarnya. Adapun yang menolak adalah para tokoh yang selama ini telah menikmati berbagai keuntungan karena dianggap orang2 istimewa di hadapan para ‘Muhibbin’ dari golongan awwam.

Dari dokumen sejarah dan catatan resmi diketahui bahwa pengisbatan Nabi Isa AS menjadi ‘Anak Allah’ merupakan hasil kesepakatan sekelompok orang dan tidak berdasarkan landasan yg benar sama sekali. Bahkan pada masa saat mana ‘Muktamar’ digelar pun masih ada sejumlah tokoh yang menolak serta dg lantang menyatakan bahwa Isa itu bukanlah anak Allah. Tetapi kelompok ini kalah suara karena kelompok lawan didukung oleh kekuasaan. Bahkan sejak Isa bin Maryam diitsbat sebagai “Anak Allah” kelompok penolak nasab cangkokan itu justru dibully, dikejar kejar dan dikucilkan di tengah kehidupan. Semua ‘data sezaman’ yg mereka pegang pun dibakar. Maka sejak itu kedudukan Isa sebagai Anak Allah menjadi kokoh dan mencapai derajat “Syuhrah Wal Istifadhah” hingga datangnya Rasulullah Muhammad SAW. Beliau seakan menolak berdalil dg ‘kaidah’ tersebut karena ada ‘data pembanding’ yang lebih kuat dalilnya. Hasbunallah.

(IV)


Lebih kurang 16 bulan lamanya Rasulullah SAW dan para sahabat Shalat menghadap Baitul Maqdis. Keadaan ini dirasakan kurang nyaman karena kaum Muslimin dianggap rendah oleh kaum Yahudi yg memang sudah lebih dahulu berkiblat ke sana. Maka Allah pun memindahkan Kiblat Shalat mereka menghadap ke Ka’bah di Mekah. Peristiwa ‘pindah haluan’ ini mengundang kemarahan dan kebencian kaum Yahudi dan Nabi Muhammad SAW dituduh telah melakukan kebohongan publik yang meresahkan Ummat. Alasan mereka bahwa Kiblat Baitul Maqdis merupakan Rumah Ibadah tertua di muka bumi. Terhadap klaim ini Nabi Muhammad SAW memberikan tanggapan berdasarkan firman Allah:

إِنَّ أَوَّلَ بَيْتٍ وُضِعَ لِلنَّاسِ لَلَّذِي بِبَكَّةَ مُبَارَكًا وَهُدًى لِلْعَالَمِينَ فِيهِ آيَاتٌ بَيِّنَاتٌ مَقَامُ إِبْرَاهِيمَ ۖ وَمَنْ دَخَلَهُ كَانَ آمِنًا ۗ وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا ۚ وَمَنْ كَفَرَ فَإِنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ عَنِ الْعَالَمِينَ

Artinya: “Sesungguhnya rumah yang mula-mula dibangun untuk (tempat berabadat) manusia, yaitu Baitullah yang di Bakkah (Mekah) yang diberkahi dan menjadi petunjuk bagi semua manusia. Padanya terdapat tanda-tanda yang nyata, (di antaranya) maqam Ibrahim; barangsiapa memasukinya (Baitullah itu) menjadi amanlah dia; mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah. Barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam” (Ali Imran:96-97).

Ini adalah terjemahan versi Departemen Agama dan para penterjemah lain. Tetapi — dg memohon maaf — saya menterjemahkan ayat di atas sebagai berikut:

“Sesungguhnya rumah yang mula-mula dibangun untuk (tempat berabadat) manusia, yang diberkahi dan menjadi petunjuk bagi seluruh alam adalah yang berada di Bakkah (Mekah). Di sana ada beberapa (tiga) bukti; (pertama) Maqam Ibrahim, dan (kedua) siapa saja memasukinya akan aman, dan (ketiga) kewajiban manusia yang mampu jalannya agar menunaikan ibadah Haji  itu ke rumah tersebut (Ka’bah). Dan barangsiapa mengingkari (dalil) ini, maka (silahkan saja karena) Allah tidak butuh kepada seluruh alam” (Ali Imran:96-97).

Dua ayat ini mengemukakan 3 dalil bahwa Ka’bah Baitullah yang di Mekah lebih dahulu ada dibandingkan Kiblat yang Baitul Maqdis, yaitu:

Pertama, adanya Maqam Ibrahim yaitu situs atau artefak berupa batu yang pernah dijadikan pijakan Nabi Ibrahim saat membangun (kembali) Ka’bah atau Menyerukan Ibadah Haji untuk pertama kali. Sisi kehujjahannya adalah fakta bahwa Baitul Maqdis dibangun pada masa kekuasaan Nabi Dawud AS dan Sulaiman. Padahal masa Dawud AS jauh setelah masa Ibrahim AS. Masa hidupnya secara umum diperkirakan antara tahun ~1040–970 SM. Padahal Ibrahim hidup Ada yang menyatakan Nabi Ibrahim hidup sekitar tahun 1997-1822 SM, antara 2150-2080 SM, lahir pada tahun 2295 SM, ada pula yang meyakini Bapak Para Nabi ini lahir pada 2166 SM. Satu ini saja argumen sudah cukup untuk menolak klaim Yahudi yg mengatakan bahwa Rumah Ibadah Baitul Maqdis lebih tua dari Baitullah di Mekah.

Kedua, jaminan keamanan bagi setiap orang yang memasukinya. Hal ini diberlakukan sebagai penghormatan terhadap Rumah Ibadah tertua di bumi dan ‘Bapak para Nabi’, Ibrahim AS yg merupakan leluhur tiga tokoh besar Besar; Musa AS, Isa AS dan Muhammad SAW.

Ketiga, adanya perintah menunaikan ibadah Haji. Para penganut 3 Agama mengetahui bahwa Mekah satu satunya yang dijadikan tempat menunaikan ibadah Haji. Tidak ada satu pun di dunia kota yg dijadikan pusat ibadah berdasarkan Kitab Suci selain Mekah. Ini menjadi bukti bahwa Baitullah Ka’ bah Al Musyarrafah merupakan kota ibadah tertua di dunia, jauh lebih tua dibandingkan Baitul Maqdis.

Ketiga argumen yang dibacakan oleh Nabi SAW tak dapat disanggah oleh kaum Yahudi. Mereka hanya sibuk bernarasi menuduh Nabi Muhammad SAW menyebarkan kebohongan dan ‘memecah belah’ Ummat. Bukankah secara Syuhrah Wal Istifadhah Baitul Maqdis telah diterima sebagai Rumah Ibadah Tertua? Bukankah Muhammad SAW pun pernah berkiblat ke sana? Ya, itu dulu sebelum tahu bahwa klaim itu adalah klaim palsu. Maka ambillah pelajaran, wahai mereka yg masih punya akal pikiran. Hasbunallah

Syarif Rahmat RA

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *