Ziarah adalah sebuah tradisi luhur yang mengingatkan manusia akan kefanaannya. Dalam budaya Indonesia, ziarah telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan spiritual masyarakat. Tradisi ini diwariskan turun-temurun dari para sesepuh sebagai bentuk penguatan keimanan, tempat seseorang merenungi hakikat hidup dan kematian, serta mempertebal kedekatan dengan Tuhan.
Dalam konteks Islam, ziarah kubur bukan sekadar mengenang orang yang telah wafat, tetapi juga sebagai sarana refleksi dan pengingat bahwa manusia akan kembali kepada Sang Pencipta. Rasulullah sendiri menganjurkan ziarah kubur agar hati menjadi lembut dan seseorang bisa mengingat akhirat. Tak sedikit orang yang pulang dari ziarah dengan hati yang lebih tenang, niat yang lebih murni, dan semangat untuk menjalani hidup yang lebih hanif—lebih lurus dan sesuai fitrah.
Namun, realitas di lapangan tidak selalu seindah harapannya.
Kehilangan Kesakralan: Ketika Ziarah Dikuasai Kepentingan Duniawi
Meskipun mayoritas peziarah memulai perjalanan mereka dengan niat ikhlas, suasana spiritual itu sering kali ternodai oleh praktik-praktik yang menyimpang dari esensi ziarah. Banyak peziarah mendatangi makam tokoh-tokoh besar atau ulama yang diyakini memiliki karomah, berharap mendapatkan keberkahan atau wasilah dalam ibadah kepada Allah. Namun, niat suci ini terkadang diuji oleh situasi di sekitar area makam.
Di balik tradisi ziarah yang khusyuk, tersembunyi realitas pahit: dunia ziarah kini perlahan dikuasai oleh segelintir oknum yang menjadikan spiritualitas sebagai komoditas. Bahkan dalam banyak kasus, muncul praktik penguasaan wilayah makam oleh segelintir kelompok—termasuk mereka yang menyandang gelar habib—yang diduga menjadikan makam sebagai ladang keuntungan.
Dengan dalih menjaga kehormatan makam, mereka mengatur alur ziarah, menetapkan tarif tak tertulis, bahkan meminta “sumbangan” dengan tekanan sosial atau intimidasi halus. Para pengurus makam, pengemis, juru parkir, hingga “kamtib makam” saling berbagi peran dalam sistem ekonomi ziarah yang terstruktur.
Akibatnya, para peziarah yang awalnya datang dengan niat bersih dan hati ikhlas, justru merasa terjebak dalam sistem transaksional yang bertentangan dengan semangat ziarah itu sendiri. Kekecewaan pun muncul, dan tidak sedikit yang pulang dengan rasa kesal, bahkan goyah keimanannya, karena praktik-praktik manipulatif yang mereka temui.
Antara Iman dan Uang: Siapa yang Bertanggung Jawab?
Pertanyaan besar pun muncul: siapa yang patut disalahkan?
Apakah masyarakat yang terlalu mengkultuskan tokoh-tokoh tertentu? Ataukah mereka yang memanfaatkan pengaruh spiritual untuk mengejar materi? Dalam banyak kasus, gelar keagamaan seperti “habib” menjadi simbol otoritas yang tak mudah dikritik. Namun jika gelar tersebut digunakan bukan untuk membimbing, melainkan untuk mengeksploitasi, maka hal itu justru mencederai ajaran Islam yang murni.
Masalah ini bukan sekadar persoalan individu, melainkan sistem yang dibiarkan tumbuh tanpa kontrol. Ketika tradisi yang seharusnya mendekatkan diri kepada Tuhan malah berubah menjadi ladang bisnis, maka kita perlu mengevaluasi ulang: apakah kita masih menjalankan ajaran atau hanya mengejar bayangannya?
Menjaga Kesucian Ziarah: Seruan untuk Kembali pada Esensi
Ziarah seharusnya menjadi perjalanan batin, bukan transaksi ekonomi. Untuk mengembalikan kesakralan tradisi ini, dibutuhkan kesadaran kolektif:
- Para peziarah harus mempertegas niat dan tidak tergoda oleh iming-iming atau tekanan sosial.
- Tokoh agama dan pemilik otoritas spiritual perlu mengingatkan kembali bahwa keberkahan tidak dijual, melainkan diraih melalui kesungguhan ibadah.
- Pemerintah dan lembaga keagamaan harus hadir mengatur praktik ziarah agar tetap dalam koridor syariat, bukan kapitalisme agama.
Jika ziarah sudah menjadi ladang bisnis yang dikelola oleh oknum, bahkan yang berselubung gelar mulia seperti habib, maka kita harus berani bertanya: apakah ini masih ibadah, atau sudah menjadi industri?
Ary Badruzzaman, S.Hum
Cisauk, 08 April 2025


