RAMADHAN KEDUA PULUH ENAM
Syarif Rahmat RA

Firman Allah:


كُلُوْا وَاشْرَبُوْا حَتّٰى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْاَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْاَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِۖ ثُمَّ اَتِمُّوا الصِّيَامَ اِلَى الَّيْلِۚ وَلَا تُبَاشِرُوْهُنَّ وَاَنْتُمْ عَاكِفُوْنَۙ فِى الْمَسٰجِد


Artinya: “dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar, Kemudian sempurnakanlah puasa sampai (datang) malam. (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri’tikaf dalam mesjid…”


Puasa dimulai saat terbit Fajar Shidiq. Yang dimaksud dengan fajar adalah waktu Subuh.

firman Allah:


أَقِمِ الصَّلَاةَ لِدُلُوكِ الشَّمْسِ إِلَىٰ غَسَقِ اللَّيْلِ وَقُرْآنَ الْفَجْرِ ۖ إِنَّ قُرْآنَ الْفَجْرِ كَانَ مَشْهُودًا.(الاسراء٧٨)


Artinya: “Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam dan juga Shalat Fajar. Sesungguhnya shalat Fajar itu disaksikan (oleh malaikat)”.


Jika telah diketahui Shalat Fajar dalam ayat bermakna Shalat Subuh, maka wajar bila ada yang berpendapat bahwa Shalat Sunnat Fajar yang disabdakan oleh Nabi SAW adalah Qabliyah Subuh, bukan Shalat Sunnat tersendiri sebagaimana dipahami banyak orang.


Berdasarkan ayat ini para Ulama sepakat bahwa permulaan menahan bagi orang yang berpuasa adalah waktu subuh. Apabila orang masih makan atau minum saat berkumandang adzan Subuh maka puasanya hari itu batal.


Belakangan ada orang yang salah paham, mengatakan bahwa saat adzan subuh berkumandang masih diperbolehkan makan. Mereka berdalil dengan adanya Hadis yang menyebutkan perintah Rasulullah SAW kepada para sahabatnya agar tetap melanjutkan makan meskipun adzan sudah berkumandang. Padahal yang dimaksud oleh beliau adalah adzan Awwal sebelum masuk waktu subuh. Sebagaimana diketahui bahwa Muadzin untuk Shalat Subuh pada masa Nabi SAW ada dua orang; Bilal dan Abdullah bin Ummi Maktum. Ketika Rasulullah SAW mempersilahkan para sahabatnya melanjutkan makan sahur adalah ketika adzannya Bilal yang masih berada di waktu malam.

Perhatikan Hadis berikut:


إنَّ بلَالًا يُؤَذِّنُ بلَيْلٍ، فَكُلُوا واشْرَبُوا حتَّى يُنَادِيَ ابنُ أُمِّ مَكْتُومٍ، ثُمَّ قالَ: وكانَ رَجُلًا أعْمَى، لا يُنَادِي حتَّى يُقالَ له: أصْبَحْتَ أصْبَحْتَ.(رواه البخاري و مسلم)


Artinya: “Sesungguhnya Bilal itu mengumandangkan Adzan masih di waktu malam. Oleh karena itu silahkan makan dan minum sampai Ibnu Ummi Maktum mengumandangkan Adzan. Dia adalah orang buta yang tidak beradzanbsampai ada yang mengatakan “sudah masuk waktu subuh, sudah masuk waktu subuh” (HR Al Bukhari dan Muslim).
Dalam redaksi lain disebutkan:


عَنْ عبداللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ، عَنِ النَّبِيِّ ﷺ قَالَ: لاَ يَمْنَعَنَّ أَحَدَكُمْ – أَوْ أَحَدًا مِنْكُمْ – أَذَانُ بِلاَلٍ مِنْ سَحُورِهِ، فَإِنَّهُ يُؤَذِّنُ – أَوْ يُنَادِي بِلَيْلٍ – لِيَرْجِعَ قَائِمَكُمْ، وَلِيُنَبِّهَ نَائِمَكُمْ، وَلَيْسَ أَنْ يَقُولَ الفَجْرُ – أَوِ الصُّبْحُ -(رواه البخاري و مسلم)


Artinya: “Janganlah kalian atau salah seorang di antara kalian terhalang untuk makan sahur oleh adzannya Bilal sebab Bilal beradzan atau berseru pada waktu malam adalah untuk menyuruh pulang orang yang Qiyamullail di antara kamu dan membangunkan orang yang tidur di antara kamu”, bukan menyerukan fajar atau subuh” (HR Al Bukhari dan Muslim).


Adzan Awal diserukan untuk menyuruh pulang para sahabat yang sedang Qiyamullail di Masjid dan membangunkan orang yang tidur di rumah. Tujuannya agar segera bersantap sahur. Waktunya masih termasuk malam, belum subuh. Memahami Hadis ini sebagai kebolehan makan setelah Subuh adalah kesalahan besar.


Selanjutnya, jarak antara adzan Awwal (sebelum masuk waktu subuh) dengan Adzan kedua (setelah masuk waktu Subuh) adalah sebagaimana diterangkan dalam Hadis bersumber dari Anas dari Zaid bin Tsabit RA ia berkata.

تَسَحَّرْنَا مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ قَامَ إِلَى الصَّلاةِ قُلْتُ كَمْ كَانَ بَيْنَ الأَذَانِ وَالسَّحُورِ قَالَ قَدْرُ خَمْسِينَ آيَةً.


Artinya: “Kami sahur bersama Rasulullah SAW kemudian beliau bangkit untuk shalat.” Aku berkata, “Berapa lama antara azan dan sahurnya,” Beliau berkata, “sekira orang membaca lima puluh ayat Al Qur’an” (HR Al Bukhari dan Muslim).


Hadis ini pun cukup dijadikan dalil bagi apa yang disebut orang dengan “Imsak”. Jarak antara pengumuman Imsak dengan adzan Subuh itu hampir sama dengan jarak antara Sahur Nabi SAW dengan adzan Subuh. Kalau Rasulullah SAW dan para sahabatnya sudah menghentikan santap sahurnya, maka memberikan pengumuman pada waktu itu bahwa Subuh akan segera tiba agar orang bersiap menghentikan sahurnya, adalah sesuatu yang sangat baik.

I’tikaf adalah duduk di Masjid pada waktu tertentu dengan tujuan mendekatkan diri kepada Allah. Hukumnya adalah Sunnat. Pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan kesunnahannya lebih kuat.

Para Ulama berbeda pendapat tentang tempat di mana I’tikaf dilakukan. Sebagian berpendapat bahwa I’tikah hanya disyari’atkan di dua Masjid saja yakni Masjidil Haram di Makan dan Masjid Nabawi di Madinah. Tetapi mayoritas Ulama berpendapat bahwa I’tikaf dapat dilakukan di Masjid mana saja di seluruh dunia, sebab Allah sendiri menggunakan kata jamak “في المساجد” (di Masjid Masjid). Artinya, semua lokasi yang dijadikan sebagai Masjid sah digunakan I’tikaf. Apakah hanya Majid Jami’? Tidak, semua tempat Shalat yang menjadi milik Ummat baik berupa Masjid Jami, Mushalla atau langgar layak dijadikan tempat I’tikaf karena semua itu namanya “Masjid” dalam kacamata Syari’ah.

Pun para Ulama berbeda pendapat apakah I’tikaf hanya dilakukan pada bulan Ramadhan ataukah juga di luar Ramadhan. Di antara mereka ada yang menfatwakan hanya di bulan Ramadhan karena melihat zhahurvayat ini. Tetapi mayoritas Ulama berpendapat I’tikaf dapat dilakukan setiap saat kapan saja.

Ketika orang berniat akan melakukan I’tikaf, maka tidak boleh melakukan hubungan suami isteri. Barangsiapa memperbuatnya, gugurlah I’tikafnya.

Rasulullah SAW sendiri beri’tikaf di sepuluh malam terakhir di bulan Ramadhan. Dan ketahuilah bahwa malam 27 Ramadhan (malam ini) diyakini banyak Ulama sebagai malam Lailatul Qadar. Hal itu karena kuatnya isyarat baik yang dihasilkan dari dalil maupun isyarat. Di antara isyarat yang menunjukkan bahwa Lailatul Qadar itu malam ke 27 adalah sebagai berikut:

Pertama, Kata “ليلة القدر” itu terdiri dari 9 huruf. Kata tersebut diulang sebanyak 3 kali. Jika dikalikan 9×3=27. Bukankah 27 juga berjumlah 9, sama dengan kata Lailatul Qadr?

Kedua, Surat Al Qadar terdiri dari 30 kata. Kata “هي” (dia itu) yang merupakan kata ganti dari Lailatul Qadar diletakkan pada kata yang ke 27.

Wallahu A’lam.

(Lebak Bulus, Rabu 26 Maret 2025 M / 26 Ramadhan 1446 H Jam 19.22)

Berikan pendidikan terbaik untuk anak Anda! Pesantren Ummul Qura siap membimbing anak Anda dengan ilmu agama yang kokoh, akhlak mulia, dan keterampilan yang unggul. Daftarkan sekarang dan wujudkan generasi berkarakter Islami yang siap menghadapi masa depan!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *